Adanya (Ujian), Seperti Tidak Adanya (Ujian)

Pernahkah kita berfikir tentang nikmat yang justru menjadi laknat? Seperti halnya ketika kita tidak merasa berat meninggalkan ketaatan yang justru mendekatkan kita pada sang pencipta. Atau ketika Allah memberikan karunia yang cukup besar atas usaha kita yang biasa-biasa saja, dibandingkan dengan usaha orang yang lainnya. Bahkan ketika kita menikmati hidup berkecukupan tanpa hambatan dan rintangan, atau mungkin saat kita terlena melakukan dosa yang tidak terasa, tapi teguran belum kunjung menghampiri hidup kita.
Mungkin cerita ini bisa membawa setetes embun segar yang bisa menyentuh kalbu, tidak hanya sebagai penyejuk sanubari, tetapi langsung merangsang hati untuk mensyukuri dan menyadari betapa Agungnya pemberian dari Nya.

Seorang murid mengadu kepada gurunya: “Ustadz, betapa banyak kita berdosa kepada Allah dan tidak menunaikan hakNya sebagaimana mestinya, tapi saya tidak melihat Allah menghukum kita”.
Sang Guru menjawab dengan tenang: “Betapa sering Allah menghukummu tapi engkau tidak merasakannya”.
“Sesungguhnya salah satu hukuman Allah yang terbesar yang bisa menimpamu wahai anakku, ialah: ‘Sedikitnya taufiq’ (kemudahan) untuk mengamalkan ketaatan dan amal-amal kebaikan”.
Tidaklah seseorang diuji dengan musibah yang lebih besar dari ‘“kekerasan hatinya dan kematian hatinya”‘ fonte dell’articolo.
Sebagai contoh: Sadarkah engkau, bahwa Allah telah ‘mencabut darimu rasa bahagia dan senang’ dengan munajat kepadaNya, merendahkan diri kepadaNya, menyungkurkan diri di hadapannya..?
Sadarkah engkau ketika ‘tidak diberikan rasa khusyu’ dalam shalat..?
Sadarkah engkau, bahwa hari-hari mu telah berlalu dari hidupmu, tanpa membaca Al Qur’an, padahal engkau mengetahui firman Allah: “Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini ke gunung, niscaya engkau melihatnya tunduk, retak, karena takut kepada Allah”.
Tapi engkau tidak tersentuh dengan Ayat Ayat Al-Qur’an, seakan engkau tidak mendengarnya…
Sadarkah engkau, telah berlalu beberapa malam yang panjang sedang engkau tidak melakukan Qiyamullail di hadapan Allah, walaupun terkadang engkau begadang semalaman. Sadarkah ketika dirimu dibuat terlena dengan duniamu, tanpa ada yang mengganggumu.
Sadarkah engkau, bahwa telah berlalu atasmu musim musim kebaikan seperti: Ramadhan.. Enam hari di bulan Syawwal.. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dst.. tapi engkau belum diberi taufiq untuk memanfaatkannya sebagaimana mestinya??
Hukuman apa lagi yang lebih berat dari itu?? Tidakkah engkau merasakan beratnya mengamalkan banyak ketaatan (amal ibadah)??
Tidakkah Allah menahan lidahmu untuk berdzikir, beristighfar dan berdo’a kepadanya??
Tidakkah terkadang engkau merasakan bahwa engkau lemah di hadapan hawa nafsu??
Hukuman apa lagi yang lebih berat dari semua ini??
Sadarkah engkau, yang mudah bagimu berghibah, mengadu domba, berdusta, memandang ke yang haram??
Sadarkah engkau, bahwa Allah membuatmu lupa kepada Akhirat, lalu Allah menjadikan dunia sebagai perhatian terbesarmu dan ilmu tertinggi??
Semua pembiaran -dengan berbagai bentuknya- ini, hanyalah beberapa hukuman Allah kepadamu, sedang engkau menyadarinya, atau tidak menyadarinya…
Waspadalah wahai anakku, agar engkau tidak terjatuh ke dalam dosa-dosa dan meninggalkan kewajiban kewajiban.
Karena ‘hukuman yang paling ringan’ dari Allah terhadap hambaNya ialah: ‘Hukuman yang terasa’ pada harta, atau anak, atau kesehatan.
Sesungguhnya ‘hukuman terberat’ ialah: ‘Hukuman yang tidak terasa’ pada kematian hati, lalu ia tidak merasakan nikmatnya ketaatan, dan tidak merasakan sakitnya dosa.
“Karena itu wahai anakku, Perbanyaklah di sela sela harimu, amalan taubat dan istighfar, semoga Allah menghidupkan hatimu”

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Bila kamu melihat Allah memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561)

(Diterjemahkan dari Taushiyah Syaikh Abdullah Al-‘Aidan di Masjidil Haram pada 22 Rajab 1437)