Bahkan, lututnya pun menghitam seperti kulit unta

Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga hal yang membinasakan, yaitu memperturutkan kekikiran, hawa nafsu yang diperturutkan dan ‘ujub terhadap dirinya sendiri.” (HR Baihaqi)

Pada zaman Nabi Musa, hidup seorang ahli ibadah yang miskin dan memiliki banyak anak. Sebut saja si Fulan. Pada awalnya dia miskin, namun sangat tekun beribadah. Suaranya yang sangat indah dan merdu saat melantunkan ayat-ayat Taurat membuatnya dijuluki an-Nur (Cahaya) dan menjadikan Nabi Musa kagum kepadanya.

Pada suatu kesempatan si Fulan meminta Nabi Musa untuk mendoakannya kepada Allah. Si Fulan bernadzar apabila dia diberi kekayaan, maka dia akan menjadikan kekayaannya sebagai sarana agar semakin taat kepada Allah.

Selain itu, dia berniat akan membantu saudara-saudaranya. Akhirnya, Nabi Musa pun menyetujui, maka diberinya si Fulan perbendendaharaan ilmu kimia, sehingga ia memiliki keahlian dalam mengolah emas.

Dengan kepandaiannya itulah akhirnya si Fulan yang sebelumnya miskin menjadi kaya raya. Sayangnya setelah kaya Fulan menjadi sombong dan lupa diri. Ia merasa bahwa karunia kekayaan itu diperoleh karena prestasi ibadahnya.

Waktu telah berlalu, sang ahli ibadah yang miskin tersebut telah mendapat harta yang melimpah-ruah. Dalam Al Quran disebutkan bahwa karena begitu banyak hartanya, kunci-kunci gudang sang ahli ibadah harus dipikul oleh beberapa orang yang kekar. Dikatakan pula dalam suatu riwayat lain bahwa berat kunci gudang sang ahli ibadah, apabila dikumpulkan menjadi satu, hanya bisa diangkut oleh 100 ekor unta.

Hingga pada suatu hari, Nabi Musa datang untuk menanyakan perihal nadzar sang ahli ibadah ketika dia miskin dahulu. Yaitu, bertambah ketaatan karena hartanya. Namun, bukannya menambah ketaatan yang dia lakukan, sang Ahli Ibadah malah rajin menambah pusakanya.

Akhirnya kekayaannya itu membuat si Fulan lupa akan nadzar dan kewajibannya. Si fulan yang dahulunya taat dan ahli ibadah, berubah menjadi durhaka hingga muncul pula sifat bakhil dalam dirinya. Yang mana ketika nadzar menuntut untuk dipenuhi, saat itulah si Fulan sebagai orang bakhil mengeluarkan hartanya.

Bukan hanya itu, si Fulan telah lupa diri, ia mengatakan bahwa harta yang ia peroleh adalah hasil jerih payah, kealiman dan kemahirannya bukan karena siapapun.

Si fulan semakin lalai dan bertambahlah kecintaannya terhadap dunia. Lututnya yang dahulu menjadi saksi ketekunannya, kini hanya bekas semata. Ketaatannya yang dahulu hanya menjadi dongeng lama, kini yang tersisah hanyalah kekikirannya.

Suatu hari si fulan memakai pakaian yang paling mewah, ia pergi ke pekarangan istananya untuk memilih kuda yang paling bagus, dan memerintahkan tentaranya untuk membawa semua harta untuk menyertainya. Dia ingin memamerkan hartanya keseluruh penjuru, dan tak sabar ingin mendapat pujian dari orang –orang yang melihatnya.

Semua mata tertuju pada si fulan, mereka yang menginginkan kebahagiaan dunia berkata “Andai kita memiliki seperti yang dimilkinya”. Sebagian lagi dari mereka, yaitu orang yang berilmu berkata “Celakalah mereka yang meminta, sesungguhnya yang Allah berikan kepada kami lebih dari cukup”.

Si fulan semakin tinggi hati, kesombongannya muncul, “Inilah aku, lihatlah” katanya menyombongkan diri. Tiba –tiba tanah yang dipijakinya retak membuat lubang yang siap untuk melahap si fulan, hartanya, dan seluruh pengikutnya masuk dalam lubang itu, setelah itu tanah merapat lagi seakan tak terjadi apa-apa. Allah memberi azab pada si fulan, Dia menenggelamkan si fulan beserta harta dan seluruh pengikutnya.

Si fulan yang pada awalnya rajin ibadah saja begitu mudah terperangkap dengan duniawi, apalagi kita? Duniawi memang mudah menyesatkan manusia, dan membuat mereka tergila-gila terhadapnya.

Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al Qashash: 81)

***Diadaptasi dari kisah Qarun dengan berbagai sumber.