Embun Segar Itu Berbuah Mahkota

 photo AyoMondok-Pesantrenku-Keren1_zpscxpz5lvs.jpgSetiap prosesi wisuda selalu mengharukan. Apalagi wisuda Tahfidz Al Qur’an. Hampir mustahil tidak menangis.

“Asyhad annakum qod tamma lil hifdzi Al Qur’an tsalatsina juz an kaamilaan”

Suara menggelegar pelantun isyhad wisuda tahfidh tiga puluh juz  berhasil membuat tangisku pecah. Bukan hanya aku, ratusan pasang mata di seluruh penjuru ruangan ini –pun tak luput dari haru. Air mata dan isakan mereka seakan berpadu dan bersahutan mengiringi momentum sakral ini.

Satu persatu keluarga Allah dipanggil namanya untuk dibaiat diatas panggung megah yang menghadap ke barat. Iringan sholawat menambah syahdunya hati ketika mata ini menangkap haru di wajah Mudir II. Ah.. lagi-lagi air mata ini meleleh. Ditepuknya pundakku tatkala aku menjabat tangannya.

“Barakallah fii Umrik” tuturnya.


#flashback

Semua berawal ketika, aku menjadi bagian dari majlis sholat maghrib  di ma’had. Selaku imam ketika itu adalah senior yang telah menjadi Hafidh. Sang imam dengan lantang melantunkan ayat Al Qur’an. Tak kusangka, ditengah-tengah pembacaan surat, hafalan sang imam tersendat. Bagaikan sebuah computer,  secara otomatis makmum yang mayoritas juga merupakan tahfidz Al Qur’an mendeteksi kesalahan dan melakukan islah.

Saat itu juga, aku serasa mendapat embun segar.  Ya… rasanya seperti mendapat air es yang langsung ‘nyereces’ membasahi tekadku memasuki dunia Al Qur’an.


Awal interaksiku dengan Al Qur’an, semangatku tak pernah surut. Lembar demi lembar terlewati. Hingga aku tercatat sebagai wisudawan binadhor ditahun yang sama dengan jumlah hafalan tertinggi di kelas.

 Waktu kian bergulir, seperti biasa sebagai calon Ahlu Al Qur’an berbagai cobaan terus menghampiri. Ketika itu, play station (PS) adalah faktor utama penghambat hafalan. Semua bermula dari refreshing dan coba-coba yang akhirnya berubah menjadi candu.

Masih jelas dalam ingatanku, siang itu sepulang dari bermain PS ketika jam istirahat siang. Seorang teman menghentikan langkahku.

“Eh.. gimana, sekarang Indonesia maen sama Thailand, nonton yuk” serunya.

Semula aku tidak begitu antusias, tapi batinku harus mengakui bahwa bujukannya terlalu asyik untuk ditolak.Yang namanya nafsu, apalagi aku adalah penggemar olahraga yang dimainkan oleh dua puluh dua orang yang memperebutkan sebuah bola. Akhirnya jadilah kami kembali ke tempat bermain PS untuk nonton bersama.

Setiap perbuatan yang menyimpang, sudah pasti terdapat sebuah konsekuensi besar didalamnya. Hingga waktu telah beranjak petang, Indonesia-pun kalah telak. Dan aku, juga telah kalah dengan nafsuku. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Akhirnya kami pulang dengan mengendap-endap, melewati persawahan dibelakang ma’had. Jangan tanya mengapa begitu? Karena sudah pasti MUSTAHIL jika aku dengan percaya diri melewati gerbang utama yang dijaga oleh Qismu Al-Amn. Terlalu bodoh jika mengabil keputusan untuk melewatinya.

Semula semua berjalan baik-baik saja, namun ketika kami telah sampai di area ma’had,  endapan kami berakhir karena gerak-gerik kami dicium salah seorang dari Qismu Al-Amn.

Keesokan harinya setelah insiden “tertangkap basah”, sidang atas pelanggaran kami digelar. Tepat setelah jama’ah sholat Isya selesai, pemanggilan atas namaku sebagai balasan keteledoranku telah tesebar. Aku dan seorang temanku diperintah menuju sekretariat Keamanan untuk dimintai pertanggungjawaban sekaligus dimintai keterangan tentang siapa saja yang terlibat dalam kasus “PS” dan “Nonton Bersama”.

Sebagai hukuman atas tindakanku, di depan sekretariat keamanan yang disaksikan seluruh santri, aku harus merelakan rambut indahku berpisah sembarangan dengan kepalaku ~petal.

Malu, menyesal, terenyuh, sakit hati, jengkel, terutama marah terhadap diriku sendiri, semua rasa itu bercampur jadi satu. Ah… teguran dari sang Pemilik Kalam sudah sangat jelas  kurasakan. Saatnya aku untuk bangkit dari tidur panjang dengan memperbarui niat, membenahi hati dan kembali pada-Nya.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, tepatnya di tahun ketiga, aku menghadiri sebuah pertemuan bertema perpisahan dari Ustadz Mustami’ku. Beliau berpamitan akan pergi ke Ibu Kota, untuk mengabdikan diri menjadi bagian dari Lajnah Pentashih Al Qur’an. Untuk itu, beliau memintaku segera menyelesaikan hafalan, karena minggu ini adalah minggu terakhirnya di Ma’had. Aku serasa dihimpit dunia. Bagaimana tidak?  Saat itu hanya ada waktu tujuh hari alias seminggu untuk menyelesaikan satu juz yang belum kuhafal. Untung saja, di juz dua puluh tujuh ini aku telah hafal surat Ar Rahman dan Al Waqiah, jadi bebanku sedikit terkurangi.

Di hari terakhir penyetoran hafalan, aku tidak hadir disekolah formal karena Ustadz memintaku untuk nderes di Tebu Ireng untuk peyetoran hafalan terakhir, yaitu penutup 27, surat Al Hadid yang artinya besi. Maka bisa dibayangkan bagaimana kondisi besi setelah terus ditekan. Alhamdulillah, aku masih bisa bertahan meski dalam kondisi terpaksa, sumpek dan tertekan.

Ba’da Asar, sepulang nderes dari tebu ireng, aku menyelesaikan setoran terakhirku meski tidak terlalu lancar.  Mungkin, jika bukan karena paksaan, tuntutan, tuntunan dan bimbingan dari Ustadz Musami’ku, namaku tidak akan tercatat sebagai wisudawan tahun ini.

Rasanya senang, karena hafalanku telah selesai.

Sedih, karena detik-detik perpisahan dengan seorang yang telah menyimak hafalanku dari awal hingga akhir telah didepan mata.

Terharu, karena setiap proses ini begitu…. Ah tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.

Setiap perasaan ini bercampur begitu saja, dan tak mungkin dirasakan sebelum benar-benar mengalaminya, ~sendiri.


Kulihat wajah ibu dan ayah penuh sukacita. Haru kembali merasuk, air mata tak dapat dibendung lagi. Begitu pula sakral masih menyelimuti acara wisuda ini. Terlebih tatkala mataku menemukan  wajah Mustami’ setiaku di acara paling bersejarah dalam hidupku. Ya… beliau menyempatkan diri, menyaksikan anak didiknya dibai’at menjadi keluarga Allah.

Sekali lagi… memori dalam otakku, memutar otomatis semua proses mengesankan itu!!

“Banyak orang menginginkan kesuksesan yang instant. Padahal, haru biru atas pengalaman dari kesuksesan itu lebih berkesan daripada kesuksesan itu sendiri”