Disitulah Terkadang Aku Merasa Kesepian

 photo index_zps1kz6eb9p.jpgAula padat hari ini. Wajah-wajah yang tak asing lagi bagiku, memenuhi tiap-tiap sudut ruangan terbesar di pondok ini. Sumringah, batinku.
Aku masih tak percaya semua secepat ini, sekarang mereka semua diwisuda. Tak terkecuali sohibku, Nilna dan Salsa.
Dulu, kami selalu membayangkan momentum sepert ini, ujian bersama, memakai kebaya bersama, lulus bersama, serta boyong bersama ~tentunya. Tapi, kini aku hanya bisa ikut tersenyum menyaksikan mereka bahagia, mencoba merasakan betapa kelulusan itu menyenangkan. Meskipun, ada sedikit rasa kecewa karena tidak memakai kostum yang sama.

# Flashback, satu tahun yang lalu….
“Umiku Nil.. umiku…” tangisku pecah sesaat setelah melihat bendera kuning yang terpasang di pagar rumahku. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku merasa semuanya tak jelas, pandanganku buram, hingga aku tersungkur dan tak sadarkan diri.
“Luk…. Luluk… bangun ukhti.. bangun” sayup-sayup kudengar suara yang sangat jelas kukenal. Namun, aku tak bisa bereaksi apapun meski jelas sekali. Aku mencoba untuk bangun, tapi lagi-lagi aku tak bisa keluar dari ruangan hitam ini.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang mendorongku menyusuri ruangan ini, aku berjalan dan terus berjalan, hingga kini sampai di sebuah taman yang cerah dan indah. Kulihat siluet putih, dan ada ibu disana.Tapi ibu memunggungiku. Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku tercekat, mulutku tak dapat mengeluarkan satu kata apapun. Kukejar siluet itu, dan ibu semakin menjauh.
“Luluk…bangun ukhti…bangun..”suara itu terdengar lagi. Aroma semerbak kayu putih memenuhi penciumanku. Seketika itu, aku terbangun.
“Umiii………….” Teriakku.
Kulihat Nilna dan Salsa, mereka sesenggukan, matanya merah, tak jauh berbeda dengan teman-teman lain yang juga mengelilingiku. Ada senyum yang kurasa seperti mereka paksakan untukku.
“Banyak baca surat al ikhlas ya luk.. aku tetep disini kok” ucap Nilna masih menahan senyum itu. Tangisku kembali pecah, air mataku terus saja meleleh seperti lilin yang dibakar. Nilna berangsur memelukku, dielusnya punggungku sesekali.
Aku mencuri pandang, jenazah almarhumah ibu masih disholatkan.
~~~~~
Semenjak kepergian ibu, aku sering mengurung diri. Terkadang melamun, dan tak menghiraukan keadaan sekitar. dan disitulah terkadang aku merasa sedih. Kesepian yang menghantui hari-hariku dipondok. Apalagi ujian Niha’i dihelat sebentar lagi.
Kehadiran Nilna sangat berarti bagiku, dia selalu menjadi seperti Mario Teguh yang memberi angin segar di keseharianku. Terkadang dia membacakan hafalan Al Qur’an yang sangat meneduhkan hati. Atau sekedar mengingatkanku untuk memperbanyak bacaan al-ikhlas agar aku kuat atas semua takdir yang menimpaku. “Meski tak ada bahu umimu untuk bersandar, masih ada dahimu untuk bersujud Luk” begitu, katanya.
Sama halnya dengan Nilna, Salsa juga selalu mendampingiku, dia sudah menganggapku seperti saudaranya. Seringkali kami bertiga Mudhifah bersama.
Namanya remaja, emosiku masih labil, aku masih belum biasa mengkondisikan diri tanpa kehadiran Ibu. Ibu yang selalu memberi semangat saat ujian-ujian pondok membuatku pusing, ibu yang selalu datang menyambangiku, ibu yang selalu memberiku uang saku yang lebih, Ibu yang… ah.. ibu memang tak terganti.
Semangatku sudah mulai redup, kembali tak kuhiraukan syarah-syarah Asatidz. Aku kembali acuh terhadap ujianku, tenggelam dalam kepedihan yang semakin mendalam.
Masih segar dalam ingatanku, kubentak Nilna karena terlalu sering menegurku. Aku ingin mengakhiri kepedihan ini, tapi ibu tidak akan mungkin kembali. Nilna masih senang mengingatkanku agar memperbanyak bacaan al Ikhlas, tapi aku belum juga tergugah untuk mengamalkannya.
Hingga ujian Niha’i pun usai digelar, aku masih dirundung kesedihan. Dunia seakan tidak pernah berpihak kepadaku saat itu. Kulihat beberapa teman bersujud gembira akan hasil ujiannya, hanya segelintir yang terisak, mungkin mereka gagal ~pikirku~.
Hal yang paling membuatku ingin menangis lagi, bukan hanya ibu yang pergi, rahmat Allah mungkin juga pergi. Tak kutemukan namaku dalam deretan santri yang berhak mengikuti wisuda minggu depan.
Ah…. Salsa dan Nilna.. lagi-lagi mereka datang untuk menghiburku. Nilna masih bersedia mengingatkanku agar aku senantiasa membaca surat Al Ikhlas, yang kusesali terkadang aku menghiraukan keberadaannya. Kini kupeluk tubuhnya, kusadari meski ibu telah pergi, mereka.. teman-temanku masih setia disini.
Rasa ikhlasku atas kepergian ibu baru saja kusadari ketika semuanya berakhir, aku harus mengulang Niha’i lagi tahun depan. Yah.. sudahlah fonte dell’articolo.. “Ada Allah yang menguatkanmu” begitulah nasihat dari Nilna.
~Flashback End~
Kusaksikan walisantri mulai berdatangan, dari sekian wajah, ada beberapa yang kukenali, apalagi abah dan umi Nilna. Kuhampiri mereka, kusalami sembari mengutas senyum. Kulihat Umi Nilna berkaca-kaca, mungkin beliau iba, karena salah satu sahabat anaknya tak mengenakan kebaya. Aku masih mengutas senyum, mencoba tak menghadirkan kesedihan itu lagi. Berulang-ulang kulantunkan surat Al Ikhlas, seperti kata Nilna.
Beberapa saat kemudian, Buya Yahya dan Uma Faizah, orangtua Salsa juga datang. Uma Faizah yang menghampiriku, dipeluknya erat tubuhku, diciumnya keningku.
“Sabar ya luluk.. Mutiara yang bagus itu butuh proses nduk, luluk sekarang masih diuji, yang sabar, uma sama salsa nanti akan sering kesini, mudhifah buat kamu. Doakan saja Umimu.. semoga beliau diridloi” ucapnya. Uma faizah masih belum melepas pelukannya.
Hatiku kembali tergugah, semuanya kembali berputar-putar di memoriku. Kepergian Ibu, Salsa, Nilna, keadaan pondok, ujian Niha’I, Wisuda, bahkan perpisahan yang akan terjadi… semuanya masih kuingat jelas.
Aku bersyukur masih dilindungi di penjara suci, mungkin jika aku hidup di luaran sana, kepedihanku justru akan semakin dalam, terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan.
Yah.. meski tak ada bahu ibu yang kusandari, masih ada dahiku ini untuk mensyukuri nikmat-Nya yang luar biasa.