Ath Thoyyibaatu Lith Thoyyibiina

Subuh telah berlalu, pagi hari di tanggal 23 Jumadil Ats Tsani 1436 H, jalanan mulai ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Dzikir-dzikir khas pagi hari, semacam Surat Al Waqi’ah berdengung di setiap sudut penjuru pondok. Pengajian tafsir Al-Quran sebentar lagi dimulai.

Para santri dengan semangat berebut memasuki ndalem Nyai untuk mendapatkan duduk paling depan, meski terkadang hawa kantuk tetap menyerang. Pernah, beberapa diantara mereka yang terlalu percaya diri dengan berkali-kali menunduk karena mengantuk, mendapat ta’zir dari Nyai, yaitu membaca wirid sambil berdiri.

Sosok kharismatik Nyai yang mereka tunggu, keluar dari kamar beliau. Mengutas senyum sembari berjalan menuju tempat duduknya. Para santri bersiap-siap dengan alat tulis mereka, seraya membaca surat Al Fatihah sebagai pembuka pengajian Tafsir pagi itu.

Nyai memulai kajian tafsir dengan menyuruh para santri membaca surat Yaa Sin, ketika sampai pada ayat ke 36 yang artinya “Maha Suci (Allah) yang telah Menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” Nyai menghentikannya. Kemudian mulai menerangkan keseimbangan hukum alam.

Segala sesuatu di dunia diciptakan berpasang-pasang. Sesuai dengan hukum alam, seimbang. Ada langit, ada pula bumi. Ada siang, ada juga malam. Sama dengan diciptakannya Siti Hawa untuk menghalau kesepian Adam.

Sebuah konsep nyata “Ath Thoyyibaatu Lith Thoyyibiina wa Ath Thoyyibuuna Lith Thoyyibaati”. Sungguh tidak dapat dipungkiri, perempuan-perempuan baik untuk laki-laki baik, dan laki-laki baik untuk perempuan-perempuan baik.

Mari menengok sejarah yang telah lampau, untuk membuktikan konsep tersebut. Nabi Muhammad Al Musthafa beristrikan Sayyidah Khadijah yang setia. Sayyidah Fathimah yang sederhana berjodohkan Sayyidina Ali dengan segala ta’dhimnya. Abu Lahab yang buruk perilakunya beristrikan wanita penyebar fitnah.

Melihat realitas saat ini, apabila kita bandingkan dengan zaman dahulu pasti jauh sekali berbeda. Banyak orang mengidamkan pasangan yang sempurna tanpa menyempurnakan dirinya. Dimana pada intinya, lebih banyak manusia berharap sesuatu yang lebih tanpa berusaha sedikitpun.

“Kalau standar kalian seperti ini, jangan berharap sesuatu yang lebih, karena sudah pasti dan otomatis suami kalian nanti tidak akan jauh berbeda” tegas Nyai.

“Kalau seperti itu, bagaimana dengan kisah Asiyah istri Fir’aun Nyai? padahal ia memegang teguh tauhid” tanya seorang santri, hingga semua mata tertuju padanya.

“ Kalau begitu, lain lagi kisahnya. Allah memberikan cobaan kepada Asiyah R.A dengan memiliki suami yang sangat dlolim. Tujuannya apa? Untuk meninggikan derajat Asiyah” terang Nyai. Para santri masih antusias mendengar dan sesekali mencatat oase keimanan yang disampaikan Nyai.

“Jadi, kalau kalian mendapatkan bermacam-macam musibah? Laa Tahzan!! Jangan bersedih, itu cara Allah menyayangimu dan meninggikan derajat kemuliaanmu!”

Nyai lantas melanjutkan kisahnya. Allah memang memberi Asiyah suami yang sangat tidak manusiawi seperti Fir’aun. Sungguh karena takdir seseorang berbeda-beda, jika Allah telah berkehendak terhadap seseorang, maka jadilah.

Ada makna tersirat dari cobaan yang diberikan Allah kepada Asiyah. Meskipun dia bersuami Fir’aun yang buruk perangainya, kelak Allah menjadikannya ratu dari bidadari surga. Ini yang harus kita ambil hikmahnya.

“Maka dari itu, persiapkan dari sekarang. Kalau mau sesuatu yang lebih, lebihkan dulu ikhtiarmu. Baguskan dulu tingkah lakumu” tutur Nyai sebelum menutup pengajian Tafsir Qur’an.

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasang agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”

(Q.S. Adz Dzariyat : 49)